Pada 24 Februari 2022, masyarakat dunia dikejutkan dengan pemberitaan di berbagai media yang mengabarkan bahwa Rusia secara resmi memulai ...

Pada 24 Februari 2022, masyarakat dunia dikejutkan dengan pemberitaan di berbagai media yang mengabarkan bahwa Rusia secara resmi memulai 'operasi militer khusus' untuk masuk ke wilayah negara tetangganya, Ukraina. Pengumuman resmi dimulainya aksi rusia tersebut disampaikan langsung oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin, dari Moscow. Pengumuman tersebut langsung diikuti oleh penetrasi ribuan pasukan dan kendaraan militer rusia yang memang tengah bersiaga di sepanjang perbatasan Rusia-Ukraina ke dalam wilayah negara Ukraina. Akibatnya, konflik bersenjata pun pecah antara dua negara yang bertetangga tersebut. Hingga tulisan ini dibuat, belum ada tanda-tanda konflik akan mereda. Hujan sanksi yang diberikan Amerika Sertikat, negara barat, dan sekutu-sekutunya tampak belum juga berhasil membuat Rusia menghentikan serangannya.

Tentunya menarik untuk membahas latar belakang, alasan, dan motif dari pecahnya konflik bersenjata antar kedua negara. Pembahasan dan opini penulis mengenai hal tersebut akan terangkum dalam artikel tersendiri yang akan penulis bagikan dalam artikel selanjutnya. Dalam artikel ini, penulis akan membahas mengenai dinamika hubungan antara Rusia dan Ukraina dari perspektif sejarah. Dari mana asal-usul kedua negara tersebut? Apakah benar bahwa kedua negara tersebut sejatinya bersaudara? Bagaimana posisi kedua negara dalam menghadapi dinamika sejarah mulai dari dua perang dunia, lahir dan runtuhnya Uni Soviet, dan pasang-surut hubungan Eropa-Rusia?

FOTO

Kelahiran Dua Bangsa

Sebagaimana bangsa-bangsa lainnya di dunia, sejarah bangsa Ukraina dan Rusia terbentang panjang hingga ribuan tahun lamanya, dan sebagaimana banyak bangsa lainnya, terdapat banyak sumber yang menjelaskan mengenai asal-usul kedua bangsa. Perbedaan tersebut kebanyakan mengenai tanggal/waktu persis terjadinya suatu peristiwa ataupun detail dari peristiwa tersebut. Dalam artikel kali ini, penulis akan mencoba merangkum secara singkat sejarah kedua bangsa dari sumber-sumber populer.

Penduduk asli Rusia dan Ukraina pada mulanya adalah orang-orang Slavia Timur, yakni percabangan etnis dari bangsa Slavia yang merupakan etnis terbesar di kawasan eropa timur hingga benua asia bagian utara dan tengah. Secara etnis/kesukuan, bangsa slavia dikelompokkan ke dalam sub-etnis Slavia Timur (Orang-orang Rusia, Ukraina, dan Belarusia) dan Slavia Barat (di antaranya Polandia, Ceko, Slovakia) dan Slavia Selatan (Mayoritas Serbia, Bosnia, Slovenia, Montenegro, Bulgaria, Hungaria).

Secara politik, penduduk rusia dan ukraina di masa lampau pertama kali disatukan pasca kedatangan bangsa Viking yang disebut oleh penduduk setempat sebagai Varangian. Salah satu pemimpin bangsa Varangian, Rurik, pada mulanya membangun kekuasaan di wilayah Novgorod (saat ini wilayah Rusia) yang menandai awal dari Rurik Dinasty. Putra Rurik, Oleg, bersama dengan pasukannya dari Novgorod berhasil memperluas kekuasaannya dengan menyebrangi sungai Dnieper dan menguasai Kiev (ibukota Ukraina saat ini) pada tahun 882 M. Setelah itu, Oleg memindahkan pusat kekuasaannya dari Novgorod ke Kiev sehingga dikenal dengan sebagai Oleg the Grand Prince of Kiev. Selama berabad-abad orang-orang Rusia dan Ukraina hidup sebagai satu bangsa di bawah kepangeranan Rus Kiev (Kievan Rus) sampai keruntuhannya oleh invasi Mongol pada abad ke-13.

Perpecahan dan Bersatu Kembali

Pasca invasi bangsa Mongol tersebut, wilayah Kievan Rus terpecah menjadi beberapa kerajaan-kerajaan kecil. Salah satu keturunan Dinasti Rurik kemudian membangun kekuasaan di Moscow dan mendirikan kepangeranan Moscow (The Grand Principality of Muscovy) yang dikemudian hari berkembang menjadi Kekaisaran Rusia (The Russian Empire). Setelah masa-masa instabilitas regional dan perang saudara antar wilayah bekas kekuasaan Kievan Rus, wilayah Ukraina yang saat itu berada di bawah kekuasaan bangsa Kazak (Cossack) sepakat menandatangani Perjanjian Pereyaslav (1654 M). Sebagai tindak lanjut dari perjanjian tersebut, seluruh wilayah Ukraina secara resmi menjadi bagian dari Kekaisaran Rusia. Untuk yang kedua kalinya, bangsa Russia dan Ukraina kembali bersatu di bawah pemerintahan yang sama. Uniknya, bila sebelumnya pusat pemerintahan terletak di wilayah Ukraina (di Kiev, saat masa Kievan Rus), kali ini pusat pemerintahan justru berada di wilayah Rusia (di Moscow, kemudian dipindahkan ke St. Petersburg pada tahun 1712 M). Bersatunya Rusia dan Ukraina untuk kedua kalinya tersebut berlangsung hingga tergulingnya Tsar Nicholas II dari Dinasti Romanov yang menandai runtuhnya Kekaisaran Rusia pada tahun 1917.

Perpecahan dan Bersatu Kembali (2)

Pada Februari 1917, di tengah amukan Perang Dunia I, Tsar Nicholas II berhasil ditumbangkan oleh revolusi kaum Manshevik pimpinan Alexander Kerensky. Setelah melalui masa-masa transisi kekuasaan pasca revolusi, Kerensky kemudian diangkat sebagai kepala pemerintahan sementara di bekas wilayah Kekaisaran Rusia. Pemerintahannya yang cenderung sosialis-moderat dan berkeyakinan untuk menggunakan cara-cara non-kekerasan mendapat tentangan dari kaum Bolshevik yang menganggap pemerintahan Manshevik tidak cukup kuat dan revolusioner. Pada tanggal 25 Oktober 1917 kaum Bolshevik pimpinan Vladimir Lenin dan Leon Trotsky melancarkan pemberontakan di Ibukota St. Petersburg dan berhasil menduduki Istana Musim Dingin dan menggulingkan pemerintahan sementara pimpinan Kerensky. Peristiwa tersebut dikenal dengan sebutan "Revolusi Bolshevik" atau "Revolusi Musim Dingin".

Pasca meletusnya Revolusi Musim Dingin di St. Petersburg, Ukraina mendeklarasikan diri sebagai Negara Merdeka dengan nama Republik Rakyat Ukraina (Ukrainian People's Republic) atau Republik Nasional Ukraina pada 22 Januari 1918. Berkaca kepada keberhasilan kaum Bolshevik Rusia, kaum Bolshevik Ukraina pun berusaha untuk mengambil alih kendali pemerintahan di Ukraina guna membentuk negara komunis. Hal tersebut memicu terjadinya Perang Saudara Ukraina yang diakhiri dengan kemenangan kaum Bolshevik Ukraina dan didirikannya Republik Sosialis Soviet Ukraina yang berideologi komunisme. Pada 29 Desember 1922, Republik Sosialis Soviet Ukraina bersama dengan RSS Byelorusia (Belarusia), RSFS Transkaukasia (saat ini menjadi Armenia, Azerbaijan, dan Georgia), serta RSFS pimpinan Lenin menyetujui Deklarasi Pendirian Uni Soviet. Pada tanggal 30 Desember 1922,  Republik Sosialis Uni Soviet (Union of Soviet Socialist Republiccs/USSR) resmi berdiri sekaligus menandai untuk ketiga kalinya Rusia-Ukraina bersatu di bawah negara/pemerintahan pusat yang sama. 

Pada 1932-1933 beberapa pemberontakan pecah di beberapa wilayah Ukraina akibat bencana kelaparan masal yang dikenal sebagai "Holodomor" sebagai akibat dari kebijakan Collective Agriculture hasil gagasan Stalin yang mengakibatkan penurunan produktivitas hasil pertanian di seluruh wilayah Uni Soviet, termasuk Ukraina. Pemberontakan tersebut berhasil di atasi dengan tangan besi oleh Stalin dan Ukraina tetap menjadi bagian dari Uni Soviet hingga bubarnya USSR pada 26 Desember 1991.


Runtuhnya Uni Soviet dan Menjadi Negara Merdeka

Setelah masa stagnansi soviet (Era of Stagnation) akibat perang dingin dengan AS yang tak kunjung usai serta kegagalan kebijakan Perestroika dan Glasnost yang digagas pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev, USSR mulai kehilangan integrasi nasionalnya. Pada 24 Agustus 1991, Ukraina menyatakan kemerdekaannya dari Uni Soviet. Pada 12 Desember 1991, Rusia menyatakan hal serupa. Pada 8 Desember 1991, para pemimpin Rusia, Ukraina, dan Belarus menandatangani The Belovezh Accords yang menyatakan Uni Soviet tidak lagi ada dan ketiga negara sepakat untuk mengakui kedaulatan masing-masing. Satu persatu negara bagian Uni Soviet mendeklarasikan kemerdekaannya hingga USSR secara resmi dibubarkan pada 26 Desember 1991. Dengan runtuhnya Uni Soviet, negara-negrara bagian yang sebelumnya adalah bagian dari USSR menjadi negara merdeka seutuhnya. 

Pada tanggal 21 Desember 1991 disepakati "The Alma-Ata Protocol" yang menyatakan pembentukan suatu wadah kerjasama antarnegara bagian Uni Soviet yang diberi nama Commonwealth of Independent States (CIS) atau Persemakmuran Negara-negara Merdeka. CIS dimaksudkan untuk menjadi wadah kerjasama di bidang ekonomi, politik, keamanan, hubungan luar negeri, dan keuangan guna memelihara hubungan dan koordinasi antarnegara bekas bagian Soviet. Baik Russia maupun Ukraina merupakan negara pendiri CIS, namun demikian setelah statuta CIS secara resmi ditandatangani pada 23 Januari 1993, Ukraina tidak termasuk dalam pihak penandatangan dan tidak pernah meratifikasi statuta CIS sehingga tidak pernah secara resmi menjadi anggotanya. Akan tetapi, Ukraina tetap aktif dalam beberapa program-program CIS (misalnya sebagai anggota CIS Economic Union pada April 1994).  

10 Tahun Pertama pascakemerdekaan

Pada masa-masa awal pasca keruntuhan Uni Soviet, baik Rusia maupun Ukraina sama-sama mencoba untuk menata kembali negaranya. Sampai dengan tahun 1999, Russia dipimpin oleh Boris Yeltsin, bekas kepala pemerintahan negara bagian Russia semasa masih tergabung dalam USSR yang sekaligus juga merupakan Presiden pertama Russia pasca bubarnya soviet. Sementara itu, situasi politik dalam negeri Ukraina sedikit lebih dinamis dan fluktuatif. Pada 1994, Leonid Kravchuk (President pertama Ukraina pasca pembubaran Soviet) menyatakan mundur dari jabatannya setelah serangkaian tuduhan korupsi, maladministrasi, dan krisis ekonomi yang melanda Ukraina di bawah pemerintahannya. Ia kemudian digantikan oleh Leonid Kuchma, seorang politisi senior soviet yang memiliki basis dukungan besar di wiayah perindustrian yang didominasi etnis Russia di Ukraina bagian Timur. Berbeda dari pendahulunya yang berusaha menjaga Ukraina untuk tetap netral dalam hubungan luar negerinya (tidak berpihak kepada NATO/barat maupun Russia), Kuchma dipandang sebagai seorang yang lebih 'Pro-Russia', terlebih pada masa-masa akhir kekuasaannya ia mengeluarkan berbagai kebijakan yang cenderung otoriter seperti penangkapan dan pembunuhan jurnalis hingga pembungkaman oposisi. Meskipun demikian, Kuchma berhasil memenangkan Pemilu keduanya di tahun 1999 dan tetap menjadi Presiden hingga tahun 2005.

Salah satu faktor yang mendukung merekatnya hubungan antara Russia-Ukraina di masa Kuchma adalah pergantian kepemimpinan Russia dari Boris Yeltsin yang mengundurkan diri kepada Vladimir Putin pada 7 Mei 2000. Putin yang merupakan mantan anggota pasukan elit soviet (KGB) dipandang sebagai sosok yang tepat untuk mewujudkan stabilitas politik dan membangkitkan perekonomian Russia yang carut-marut dibawah kepemimpinan Yeltsin. Terlebih, Putin juga dianggap sukses selama menjabat sebagai Direktur Keaman Federal Nasional (1998-1999), Kepala Dewan Keamanan Nasional (1999), dan Perdana Menteri Russia (1999-2000). Vladimir Putin kemudian terus-menerus duduk di puncak hierarki kekuasaan Russia hingga saat ini dengan menjadi Presiden (2000-2008), Perdana Menteri (2008-2012), dan kembali menjabat sebagai Presiden setelah perubahan konstitusi yang mengizinkannya untuk terus menjabat sepanjang berhasil memenangkan pemilu (2012- sekarang).

Di bawah kekuasaan Putin, Russia kembali aktif mengukuhkan posisinya sebagai 'Penerus hegemoni soviet' di kancah politik internasional. Ia berusaha untuk membangun pengaruh russia di Eropa Timur, khususnya di berbagai negara bekas anggota soviet guna menahan 'agresi pengaruh NATO' yang semakin menguat. Hal tersebut tentunya sejalan dengan fokus Putin untuk mewujudkan stabilitas nasional. Hal itu pula yang mendasari kedekatan hubungan Russia-Ukraina di era kepresidenan Leonid Kuchma (serta dinamika hubungan kedua negara pada masa kepemimpinan presiden-presiden Ukraina selanjutnya).


Panas-Dingin Karena NATO

Memasuki dekade kedua pasca runtuhnya soviet yang juga ditandai dengan masuknya umat manusia ke dalam milenium baru, situasi politik Russia relatif telah stabil. Kepemimpinan Putin --terlepas dari berbagai pandangan yang menyebutnya otoriter-- terbukti berhasil mewujudkan kondisi politik-ekonomi dalam negeri yang stabil dan memberi negaranya kesempatan bagi negaranya untuk membangun reputasi sebagai negara yang patut 'diperhitungkan' di kancah internasional. Russia perlahan berhasil mengukuhkan dirinya sebagai "penerus soviet yang patut dihormati", bukan sekedar "negara pecahan soviet yang kesulitan untuk mengatur dirinya sendiri".

Sementara itu, Ukraina terus didera turbulensi politik yang tak berkesudahan. Pada pemilihan umum tahun 2004, Viktor Yanukovich, Perdana menteri incumbent yang didukung oleh Presiden Petahana (Kuchm) berhasil meraih kemenangan atas tokoh oposisi Viktor Yushenko. Hasil Pemilu tersebut dinilai oleh pengamat internasional penu kecurangan sehingga melahirkan demonstrasi rakyat besar-besaran yang dikenal sebagai 'Revolusi Oranye' (The Orange Revolution). Mahkamah Agung Ukraina (Supreme Court) kemudian menyatakan Pemilu 2004 penuh dengan kecurangan dan memerintahkan pemungutan suara ulang yang kemudian dimenangkan oleh Yushenko. Viktor Yushenko kemudian menjabat sebagai Presiden ke-3 Ukraina sejak tanggal 23 Januari 2005 hingga 25 Februari 2010.

Di bawah kepemimpinan Yushenko, Ukraina mulai mengalihkan dukungannya kepada barat (NATO & Uni Eropa). Di era kepemimpinan Yushenko, mulai muncul berbagai gagasan dan usulan untuk memasukkan Ukraina ke dalam keanggotaan NATO. Bahkan dalam kunjungan pertama Yushenko ke AS pada April 2005, Presiden George W. Bush secara terbuka menyatakan bahwa dirinya merupakan pendukung utama rencana Ukraina bergabung ke dalam NATO melalui mekanisme Membership Action Plan (MAP). Pada Januari 2008, Senator AS Richard Lugar menyatakan bahwa Presiden Yuschenko, Perdana Menteri Yulia Tymoshenko, dan Kepala Parlemen Ukraina Arsenii Yatseniuk telah menandatangani pernyataan keinginan Ukraina untuk bergabung dengan NATO dalam NATO Summit yang akan diselenggarakan di Bucharest pada bulan April 2008. Hal tersebut tentu membuat Russia geram. Pada 12 Februari 2008 Presiden Putin secara terbuka mengancam untuk menargetkan roket russia ke Ibukota Kiev jikalau Ukraina sampai bergabung dengan NATO. Sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Russia, Putin bersikeras Ukraina harus berada dalam posisi netral demi menjaga keamanan nasional Russia dari ancaman langsung NATO. Pada NATO Summit di bulan April tersebut, NATO akhirnya memutuskan belum akan menerima Ukraina sebagai anggota, namun menyatakan dukungan bagi Ukraina untuk dapat bergabung di kemudian hari. 

Keinginan Ukraina untuk bergabung dengan NATO ini lah yang kemudian menjadi bara api konflik dalam hubungan kedua negara hingga saat ini. Ukraina tegas menganggap keputusan bergabung dengan NATO dan Uni Eropa atau tidak sebagai kedaulatan pengambilan keputusan negaranya yang tidak dapat diintervensi, sedangkan Russia terus bersikeras bahwa hal tersebut merupakan ancaman bagi kedaulatan dan keamanan nasionalnya sehingga terus berupaya menggagalkannya. Ketika Viktor Yanukovich yang pro-russia memenangkan Pemilu Ukraina dan menggantikan presiden Yushenko pada tahun 2010, hubungan Russia-Ukraina yang sempat merenggang kembali membaik. Dalam masa kepemimpinannya, Yanukovich merombak berbagai kebijakan luar negeri pendahulunya dan berusaha menempatkan kembali Ukraina ke posisi netral (sebagian pandangan mengatakan menjadi pro-russia). Yanukovich juga menegaskan bahwa pemerintahannya menganggap hubungan Ukraina NATO "Sudah cukup efisien" sehingga tidak perlu ada pembahasan untuk menggabungkan Ukraina ke dalam keanggotaan NATO.

Bulan madu Russia-Ukraina di bawah Yanukovich rupanya tak bertahan lama. Pada penghujung tahun 2013 ( kurang lebih 4 tahun setelah diangkat menjadi presiden), terjadi demonstrasi besar-besaran berisi penolakan atas keputusan pemerintahan Yanukovich untuk menolak menandatangani perjanjian kerjasama politik dan pertahanan dengan NATO dan justru berusaha mendekatkan diri dengan Russia. Demonstrasi yang berlangsung di Independent Square, Kiev tersebut dikenal sebagai Euromaidan uprising. Demonstrasi tersebut kemudian semakin meluas dan mencapai puncaknya pada 18-23 Februari 2014 yang dikenal sebagai "Maidan Revolution" atau "The Revolution of Dignity". Tidak seperti Revolusi Oranye yang tidak memakan korban jiwa, Revolusi Maidan diwarnai berbagai kekerasan dan korban jiwa. Presiden Yanukovich yang terdesak kemudian meminta bantuan kepada Russia. Akan tetapi, pada akhirnya ia berhasil digulingkan dan kemudian melarikan diri ke Russia.

Di tengah kemelut politik tersebut, Russia mengambil langkah mengejutkan untuk mengirimkan pasukan guna menganeksasi wilayah semenanjung Crimea yang dihuni mayoritas etnis russia dan berhasil dengan cepat menduduki wilayah tersebut pada tanggal 18 Maret 2014 di tengah berbagai kecaman dan penolakan pengakuan internasional. Russia juga menolak untuk mengakui pemerintahan sementara pimpinan Arsenii Yatseniuk yang memutuskan untuk menandatangani perjanjian dengan NATO. Sementara itu, kelompok rakyat di Luhansk dan Donetsk mendeklarasikan diri sebagai negara merdeka. Hal tersebut kemudian memicu pecahnya Perang Donbas yang masih berlangsung hingga saat ini.   

Pada 7 Juni 2014, Petro Poroshenko, seorang pengusaha dan politisi Pro-Barat terpilih sebagai Presiden ke-5 Ukraina. Ia kemudian mengangkat bekas presiden interim Yatseniuk sebagai Perdana Menteri. Masa kepemimpinan Poroshenko ditandai dengan semakin memanasnya ketegangan antara Russia dan Ukraina khususnya pasca aneksasi Crimea yang dianggap oleh pemerintah Ukraina sebagai "pelanggaran kedaulatan dan pencaplokan atas wilayah negaranya". Poroshenko juga gencar mengupayakan peningkatan kerja sama Ukraina dengan NATO. Pada 7 Februari 2019, parlemen Ukraina mengesahkan amandemen konstitusi yang pada pokoknya menempatkan penggabungan Ukraina dengan NATO dan Uni Eropa sebagai dasar utama kebijakan luar negeri negara tersebut. 

Meskipun pemerintahannya relatif berhasil meningkatkan hubungan Ukraina dengan NATO dan sekutu barat untuk membantu menghadapi Ukraina, Poroshenko kehilangan kepercayaan rakyat karena berbagai dugaan korupsi dan pemborosan. Ia kemudian digantikan oleh Volodimyr Zelensky yang dilantik sebagai Presiden ke-6 Ukraina pada tanggal 20 Mei 2019. Zelensky yang berlatar belakang seniman komedi layar kaca kemudian meneruskan langkah pendahulunya untuk mengupayakan penggabungan Ukraina dengan NATO dan Uni Eropa. Hal tersebut ia jadikan sebagai amunisi utama untuk menahan intervensi Russia atas kedaulatan negaranya di Crimea dan Donbass.

Kegigihan ambisi Ukraina (di bawah kepresidenan Zelensky) untuk bergabung dengan NATO tentu menjadi ancaman serius bagi Russia, karena selain jadi mengancam keamanan nasional Russia mengingat faktor letak geografis Ukraina yang berbatasan langsung dengannya, bergabungnya Ukraina dengan NATO juga akan dapat memberi opsi bagi negara-negara anggota NATO untuk mengaktifkan prinsip Collective Defence sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 NATO. Prinsip tersebut menegaskan bahwa serangan terhadap salah satu negara anggota adalah serangan terhadap seluruh negara anggota dan oleh karenanya bila ada salah satu anggota NATO yang terlibat dalam peperangan dengan negara lain, maka seluruh anggota NATO berkewajiban untuk turut serta membantu negara anggota NATO tersebut. Dalam konteks tersebut, pemerintah Ukraina hingga saat ini tidak mengakui langkah Russia menganeksasi Crimea pada tahun 2014 dan masih menganggap wilayah tersebut adalah wilayah negaranya yang diduduki secara ilegal oleh Russia. Dengan bergabung bersama NATO, Ukraina dapat memiliki dasar legitimasi untuk meminta bantuan seluruh negara anggota NATO (AS, Inggris, Perancis, dan lain-lain) untuk membantunya dalam perang melawan Russia. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran yang sangat besar bagi Russia dan berpotensi membuat Russia berhadapan langsung dengan negara-negara tersebut. Hal tersebut ditambah lagi dengn konflik yang masih bergejolak hingga saat ini antara pasukan pemerintah Ukraina dengan milisi pro-lemerdekaan yang didukung Russia di wilayah Donbass (Donetsk dan Luhansk). Hal-hal tersebutlah yang kemudian menjadi salah satu dasar pengerahan pasukan besar-besaran Russia ke Ukraina pad 24 Februari yang lalu. Pengerahan tersebut didahului pernyataan Putin bahwa Perjanjian Minsk I (2014) dan Perjanjian Minsk II (2015) tentang gencatan senjata antara Russia-Ukraina tidak berlaku agi. Russia melalui Presiden Putin juga menyatakan mengakui kedaulatan negara Republik Luhansk & Donetsk yang dianggap pemerintah Ukraina sebagai kelompok separatis. Dengan dijalankannya 'Operasi Militer Khusus' tersebut, Russia berharap dapat menetralisir kekuatan angkatan bersenjata Ukraina serta memberikan peringatan kepada pemerintah Ukraina agar mengurungkan niatnya untuk terus mengupayakan penggabungan Ukraina dengan NATO dan Uni Eropa.  

Bagaikan air dan minyak dalam segelas lilin, hubungan antara dua negara yang bersaudara tersebut tak pernah bisa menyatu. Dalam tulisan selanjutnya, penulis akan membahas lebih lanjut seputar konflik bersenjata antar kedua negara yang tengah berlangsung saat ini dilengkapi dengan opini penulis akan arah peperangan dan kemungkinan penyelesaian konflik. Nantikan terus postingan terbaru penulis di www.sangpemikiramatir.blogspot.com!


Referensi

Sumber Foto: YouTube Sekretariat Presiden Kamis, 7 Oktober 2021 . Bertempat di Pusat Pendidikan dan Latihan Pasukan Khusus (PUSDIKLATPASSUS)...

Sumber Foto: YouTube Sekretariat Presiden

Kamis, 7 Oktober 2021
. Bertempat di Pusat Pendidikan dan Latihan Pasukan Khusus (PUSDIKLATPASSUS) Batujajar, Bandung, Jawa Barat, ribuan orang dengan setelan Pakaian Dinas Lapangan (PDL) disertai atribut lengkap nampak siap berbaris rapi. Beberapa saat kemudian, nampak hadir Presiden Joko Widodo dan Menteri Pertahanan RI Letjen TNI (Purn.) H. Prabowo Subianto dengan didampingi oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo, Jenderal TNI Andika Perkasa (KSAD), Laksamana TNI Yudo Margono (KSAL), Marsekal TNI Fadjar Prasety0 (KSAU), serta Danjen Kopassus Mayjen TNI Moh. Hasan dan Danpusdiklatpassus Brigjen TNI Thevi Angadowa Zebua. 

"Dengan mengucap bismillahirahmanirahim, pada hari ini, Kamis tanggal 7 Oktober Tahun 2021, Pembentukan Komponen Cadangan Tahun 2021 secara resmi saya nyatakan ditetapkan."

Demikian ucap Presiden Joko Widodo dalam Upacara Penetapan Komponen Cadangan Tahun 2021 yang disiarkan langsung di Channel YouTube resmi Sekretariat Presiden.

Ya, orang-orang dengan setelan PDL lengkap yang berdiri di hadapan Presiden Jokowi tersebut adalah 3.103 warga sipil yang telah selesai menjalani pelatihan dan resmi ditetapkan oleh Presiden sebagai Komponen Cadangan Pertahanan Negara (KOMCAD) Tahun Anggaran 2021.

"Apa itu Komcad?"
"Kenapa dibentuk?"
"Apakah seperti wajib militer di Korea?"

Mungkin pertanyaan-pertanyaan itulah yang terbersit saat membaca berbagai pemberitaan tentang peristiwa tersebut. Pertanyaan itu pula yang kemudian mendorong saya untuk mencari tahu lebih jauh tentang "pasukan" yang baru dilantik tersebut. Sebelum saya lanjutkan, terlebih dahulu saya ingin memohon maaf kepada teman-teman pembaca sekalian bila tulisan ini dirasa terlambat di post. Hal ini semata-mata disebabkan oleh adanya satu dan lain hal yang membuat saya baru dapat menyelesaikan tulisan ini (baru sempat, hehe..)

Akan tetapi, terlepas dari segala keterlambatan dan keterbatasan yang ada, saya saya berharap agar sekiranya tulisan ini dapat bermanfaat sebagai sumber informasi praktis seputar KOMCAD yang baru dibentuk berdasarkan referensi yang telah saya kumpulkan dari berbagai sumber.

Sumber Foto: YouTube Sekretariat Presiden

Ide lama yang Baru Terealisasi

Ketika pertama kali membaca berita tentang Komcad, saya langsung teringat kepada usulan pelatihan semi-militer yang disebut sebagai pelatihan bela negara pada periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi. Ketika itu jabatan Menteri Pertahan RI masih diemban oleh Jenderal TNI (Purn.) Ryamizard Ryacudu. Saat itu, usulan bela negara sempat menjadi polemik karena dianggap hendak menghidupkan kembali militerisme di Indonesia. Ketika saya mencoba mencari kembali dari pemberitaan-pemberitaan media massa sebelumnya, rupanya usulan-usulan serupa telah ada jauh sebelumnya. Pada tahun 2013, sempat terjadi perdebatan ketika muncul usulan dari beberapa politisi tanah air untuk membuat aturan khusus mengenai wajib militer bagi masyarakat sipil, bahkan usulan tersebut rupanya telah masuk dalam Prolegnas sejak tahun 2006. Usulan-usulan tersebut ketika itu juga mengundang pro dan kontra hingga proses pembahasannya terus mengalami penundaan.

Seluruh usulan tersebut pada hakikatnya mengacu pada ketentuan dalam konstitusi kita (UUD NRI Tahun 1945) mengenai kewajiban warga negara untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara (Pasal 27 Ayat 3), hak dan kewajiban warga negara untuk ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara (Pasal 30 Ayat 1), serta pelaksanaan usaha pertahanan & keamanan negara melalui Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (SISHANKAMRATA) sesuai dengan Pasal 30 Ayat (2).

Dasar hukum pembentukan Komcad sendiri rupanya telah disahkan oleh Presiden Jokowi pada tanggal 24 Oktober 2019 lalu dan telah diundangkan sebagai UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara (Lembaran Negara tahun 2019 Nomor 211) atau yang biasa disingkat sebagai UU PSDN. Sebagai pelaksanaan dari UU tersebut, pada 12 Januari 2021, pemerintah juga telah menetapkan PP Nomor 3 Tahun 2021 yang teknisnya kemudian diatur dalam Peraturan Menteri Pertahanan RI Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pembentukan, Penetapan, dan Pembinaan Komponen Cadangan. Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, Komponen Cadangan (Komcad) adalah salah satu bentuk partisipasi warga negara dalam upaya pembelaan negara yang disiapkan untuk dikerahkan melalui Mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan Komponen Utama dalam menghadapi Ancaman militer dan Ancaman hibrida.

Para personel Komcad tersebut telah melalui berbagai tahapan, mulai dari tahap pendaftaran sejak tanggal 17 hingga 31 Mei 2021, tahap seleksi pada 1 hingga 17 Juni 2021, latihan dasar kemiliteran pada 21 Juni hingga 18 September 2021, sampai akhirnya ditetapkan sebagai personel Komcad pada tanggal 7 Oktober yang lalu.

Menhan RI periode 2014-2019, Jenderal TNI (Purn.) Dr (H.C). Ryamizard Ryacudu

Bukan Wajib Militer

Hal yang membedakan pembentukan dan pelatihan personel Komcad dengan usulan-usulan terdahulu yang menimbulkan polemik terletak pada sifatnya yang tidak wajib. Hal ini pula yang membedakannya dari aturan wajib militer di negara-negara lain. Berdasarkan pasal 28 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2019, ditegaskan bahwa Keikutsertaan Komcad bersifat sukarela. Tidak ada keharusan bagi setiap warga negara untuk mendaftarkan diri untuk mengikuti pelatihan Komcad. Meskipun demikian, pendaftarannya terbuka bagi seluruh WNI yang memenuhi syarat (Pasal 33 ayat 2). Di antara persyaratan tersebut adalah batas usia minimal 18 tahun dan maksimal 35 tahun. Para pendaftar yang lolos seleksi dan ditetapkan memenuhi syarat akan mengikuti pelatihan dasar kemiliteran selama 3 bulan sebelum kemudian ditetapkan sebagai anggota Komcad. 

Para WNI yang telah resmi ditetapkan sebagai personel Komcad kemudian akan memasuki masa pengabdian yang berlangsung hingga yang bersangkutan berusia 48 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, para personel Komcad akan kembali menjalani aktivitas normal sesuai profesinya masing-masing. Seluruh perlengakapan dan persenjataan yang diberikan wajib diserahkan kepada kesatuannya dan hanya boleh diambil saat ia mendapat panggilan untuk melaksanakan pelatihan rutin dalam rangka penyegaran atau dalam situasi darurat militer yang mewajibkannya turut serta membantu personel TNI-POLRI di masa genting saat adanya perintah mobilisasi oleh presiden dengan persetujuan DPR.

Hal yang menarik adalah setiap orang yang telah resmi ditetapkan menjadi personel Komcad akan mendapatkan pangkat sebagaimana tanda kepangkatan TNI. Pemberian pangkat tersebut disesuaikan dengan ijazah tingkat pendidikan peserta saat mendaftarkan diri sebagai anggota Komcad. Anggota  Komcad yang ketika mendaftar telah memiliki ijazah Diploma III, Diploma IV, dan Sarjana (S1) atau Sarjana Profesi akan diberikan pangkat Letnan Dua (Perwira); Anggota yang berijazah SMA/SLTA/sederajat akan diberikan pangkat Sersan Dua (Bintara); dan bagi personel Komcad yang berijazah SMP/SLTP/sederajat akan diberikan pangkat Prajurit Dua (Tamtama). Meski demikian, tanda kepangkatan tersebut hanya boleh digunakan saat masa pengabdian aktif, yakni saat latihan/pembinaan rutin atau saat mobilisasi.

Sumber Foto: YouTube Sekretariat Presiden

Kontroversi dan Penentangan

Meski tidak lagi mengusung konsep wajib militer yang menuntut keikutsertaan seluruh masyarakat yang sempat menjadi polemik, kebijakan pembentukan dan pelatihan Komcad rupanya masih mendapat beberapa kritik dan kontroversi, khususnya dari kalangan pegiat Hak Asasi Manusia. Hal ini disebabkan karena meskipun pendaftarannya bersifat sukarela, namun bila dalam prosesnya personel Komcad menolak untuk mengikuti pelatihan rutin atau menolak panggilan mobilisasi dapat dikenakan hukuman pidana (Pasal 77 Ayat (1) dan (2) UU PSDN). Ketentuan tersebut dianggap melanggar prinsip penolakan berdasarkan keyakinan (Conscientious Objection) karena mengancam setiap personel yang menolak untuk patuh dalam agenda Komcad dengan ancaman pidana. Hal lain yang juga menjadi kontroversi dan mengundang penolakan adalah ketentuan pasal 46 UU PSDN yang menyebut bahwa dalam masa aktif, terhadap personel Komcad akan diberlakukan Hukum Militer. Ketentuan tersebut dianggap beresiko, mengingat personel Komcad pada hakikatnya adalah warga sipil biasa dan bukan personel militer reguler. Selain itu, UU PSDN juga mengancam siapapun yang "menghalangi" seseorang untuk mengikuti pelatihan/ agenda Komcad. Sebagai contoh, dalam Pasal 78 disebutkan bahwa  setiap pemberi kerja dan/atau pengusaha atau lembaga pendidikan yang dengan sengaja menyebabkan putusnya hubungan kerja atau hubungan pendidikan bagi calon Komponen Cadangan selama melaksanakan pelatihan dasar kemiliteran dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun. Artinya seorang pemberi kerja dilarang memutus hubungan kerja dengan pekerjanya yang mengikuti pelatihan Komcad, padahal bisa jadi ia dirugikan atas absennya pekerja tersebut dari kewajiban kerjanya selama 3 bulan mengikuti masa pelatihan.

Demikian penjelasan singkat mengenai gambaran umum kebijakan pembentukan Komponen Cadangan Pertahanan Negara (Komcad) Tahun Anggaran 2021 beserta kontroversi/penentangan yang menyertainya.

Referensi:

  • Simamora, Robby. 2014. Hak Menolak Wajib Militer: Catatan atas RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara (media.neliti.com).
  • Sucipto, Theofilus I. 2021. "Jokowi Lantik 3.103 Personel Komponen Cadangan 2021". (www.medcom.id).
  • Makki, Safir. 2021. "Komnas HAM Kritik Hukum Militer bagi Sipil Anggota Komcad TNI". (www.cnnindonesia.com).
  • CNN Indonesia. 2021. "Ancaman Penjara Anggota Komcad Poin Utama Gugatan ke MK". (www.cnnindonesia.com)
  • Sihaloho, Markus J. 2013. "Ketua MPR Dukung Wajib Militer". (www.beritasatu.com).
  • Channel YouTube resmi Sekretariat Presiden. 

"Ini semua bukanlah untuk keagunganku, tapi agar seluruh bangsaku dihargai oleh seluruh dunia."  ~Sukarno Situasi politik dan ekon...


"Ini semua bukanlah untuk keagunganku, tapi agar seluruh bangsaku dihargai oleh seluruh dunia." 
~Sukarno

Situasi politik dan ekonomi indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan dapat dikatakan sebagai masa-masa paling sulit dalam sejarah kita sebagai bangsa yang merdeka. Setelah diproklamasikannya kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, bangsa indonesia masih harus berjuang baik secara militer maupun diplomasi untuk dapat merdeka seutuhnya. Bahkan pasca pemberian pengakuan kedaulatan oleh belanda pada 27 Desember 1949 yang oleh sebagian sejarahwan dianggap sebagai akhir dari masa 'Revolusi Fisik' dalam periodisasi sejarah indonesia modern, perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan belum juga berakhir. 
    
Setelah kembali ke bentuk negara kesatuan pada 17 Agustus 1950, pemerintah dipaksa untuk menghadapi berbagai pemberontakan-pemberontakan yang mengancam keutuhan bangsa. Diawali dengan menyebarnya pemberontakan DI/TII ke berbagai daerah, pemberontakan APRA di Bandung, Andi Azis di Makassar, RMS pimpinan Soumokil, sampai PRRI/PERMESTA. Situasi bertambah runyam dengan persaingan politik internal pemerintah yang masih berusaha beradaptasi dengan sistem demokrasi parlementer ala Barat. Hingga dikeluarkannya dekret presiden 5 Juli 1959 (yang menandai akhir demokrasi perlementer/liberal), tak kurang dari 7 kali pergantian kabinet terjadi dalam kurun waktu 9 tahun.

Di tengah situasi sulit dan masa depan yang tidak menentu itu, Indonesia justru mencalonkan diri-dan terpilih- sebagai tuan rumah Asian Games ke-4 tahun 1962. ya, ASIAN GAMES! pentas olahraga terbesar di Asia. Keputusan tersebut tentu mengernyitkan dahi banyak orang. Bagaimana tidak, di tengah situasi ekonomi yang luar biasa sulit, di saat kelaparan masih mewabah di mana-mana dan kesejahteraan masih sangat jauh untuk digapai, pemerintah justru bersiap untuk menyelenggarakan Mega Event yang begitu megah dan tentunya memakan biaya yang tidak sedikit. Berbagai Gedung, sarana infrastruktur, hingga karya-karya arsitektur simbolis gencar dibangun dengan tujuan untuk menunjukkan kemajuan dan kebanggaan Bangsa Indonesia di mata dunia Internasional. Proyek-proyek pembangunan ambisius tersebut kemudian lebih dikenal dengan sebutan 'Proyek Mercusuar'.

Lantas dari mana sumber dana penyelenggaraan yang didapat oleh pemerintah kala itu?

Hotel Indonesia beserta Monumen Selamat Datang yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta 


Pampasan Perang dan Pinjaman Lunak

Pasca terpilih sebagai Tuan Rumah Asian Games ke-4 melalui voting Dewan federasi Asian Games pada 23 Mei 1958 di Tokyo, pemerintah Indonesia langsung bergerak cepat untuk memulai berbagai mega proyek infrastruktur guna menyukseskan festival olahraga bangsa-bangsa asia tersebut. Pada 27 Maret 1958, pemerintah bersama DPR mengesahkan UU No. 13 Tahun 1958 yang berisi hasil kesepakatan RI-Jepang atas biaya pampasan perang yang akan dibayarkan kepada Republik Indonesia sebesar 223,390 juta dollar AS dengan dibayarkan secara berangsur-angsur dalam kurun waktu 12 tahun. Siraman dana segar yang melimpah ruah tersebut segera dialokasikan untuk pembangunan berbagai megaproyek infrastruktur, di antaranya:
  • Hotel Indonesia (diresmikan pada 5 Agustus 1962)
  • Stasiun Televisi TVRI (mengudara pertama kali saat pembukaan Asian Games pada 24 Agustus 1962)
  • Jembatan Semanggi 
  • Monumen Selamat Datang/ Tugu Bundara HI (selesai dibangun pada tahun 1962)
Untuk venue utama, Uni Soviet yang ketika itu sedang beradu pengaruh dengan Amerika Serikat untuk memikat hati negara-negara Asia dalam perang dingin, bersedia memberikan pinjaman lunak senilai US$12,5 Juta Dollar untuk pembangunan Stadion Utama yang kini dikenal sebagai Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK). Pada saat pendiriannya, SUGBK memiliki kapasitas 110 ribu orang yang menjadikannya sebagai salah satu stadion terbesar di dunia, sekaligus stadion beratap temu gelang/ melingkar pertama di dunia! (Saat itu stadion-stadion besar dunia masih jarang yang tribunnya tertutup atap. Beberapa hanya sebagian tribun yang ditutupi atap, contohnya seperti Stadion Camp Nou yang jadi markas FC Barcelona saat ini).

Presiden Sukarno bersama Nikita Khrushchev (Pemimpin Tertinggi Uni Soviet) meninjau pembangunan kompleks olahraga SUGBK dalam kunjungan Khrushchev ke Indonesia, Februari 1960.

Amin Rahayu, sejarawan Universitas Indonesia, dalam tesisnya yang berjudul 'Asian Games IV di Jakarta: Motivasi dan Capaiannya' menjelaskan bagaimana pemerintah mati-matian mengerahkan segenap upaya agar seluruh megaproyek pembangunan tersebut berhasil diselesaikan tepat waktu. 

"Pada saat puncak penyelesaiannya, lebih dari 40 sarjana tehnik dari Indonesia, siang-malam harus turun tangan untuk memimpin sekitar 12.000 tenaga kerja sipil dan militer, yang datang secara bergiliran dalam tiga shift. Selama melaksanakan tugasnya, para teknisi indonesia tersebut didampingi oleh tenaga ahli bantuan teknis dari Uni Soviet. Walaupun sebagian tenaga asing yang berpendidikan sarjana berasal dari Uni Soviet, akan tetapi ada juga tenaga ahli yang datang dari Hongaria, Swiss, Jepang, Perancis dan Jerman," tulis Amin (hlm.89).

Sejarah kemudian mencatat bahwa seluruh proyek tersebut berhasil diselesaikan tepat pada waktunya. Pada 24 Agustus 1962, Presiden Sukarno secara resmi membuka Asian Games ke-4 Tahun 1962 lewat sebuah pidato yang dibacakan langsung di Tribun Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Pidato yang disaksikan oleh lebih dari 100 ribu orang -termasuk 1.460 atlet yang berasal dari seluruh negara peserta- tersebut sekaligus menjadi siaran langsung pertama stasiun televisi milik indonesia, TVRI.

Kesuksesan penyelenggaraan Asian Games ke-4 rupanya setali tiga uang dengan prestasi kontingen indonesia yang berlaga di dalamnya. Di akhir turnamen, kontingen indonesia berhasil menempati urutan kedua peraih medali terbanyak setelah Jepang. Itu masih menjadi capaian terbaik Indonesia dalam Asian Games hingga saat ini.

Meskipun pada awalnya difokuskan untuk persiapan penyelenggaraan Asian Games, pemerintah rupanya tetap melanjutkan pembangunan Proyek Mercusuar dengan sisa dana pampasan perang yang masih terus diangsur oleh pemerintah Jepang. Beberapa proyek tersebut di antaranya: 
  • Samudera Beach Hotel, Pelabuhanratu, Sukabumi (dibangun tahun 1962)
  • Sanur Beach Hotel, Bali (dibangun tahun 1963)
  • Pusat Perbelanjaan Sarinah, Jakarta (Pusat perbelanjaan pertama di Indonesia)
  • Jembatan AMPERA, Palembang (diresmikan tahun 1965)
  • Gedung Pencakar langit Wisma Nusantara, Jakarta (mulai dibangun tahun 1964)
Gedung Wisma Nusantara yang memiliki total 30 lantai dengan tinggi bangunan 110 meter merupakan gedung pencakar langit pertama di Asia Tenggara. (Foto: Kompas.com)

Alasan dan Motivasi

Masih menurut Amin Rahayu, Presiden Sukarno berkali-kali menyebut bahwa tahun 1959 -tahun dimualinya era Demokrasi Terpimpin- sebagai Tahun "Penemuan Kembali Revolusi Kita" (Rediscovery of Our Revolution). Sedangkan Tahun 1960 adalah awal dari tingkatan Masa pembangunan besar-besaran dalam mencapai tujuan akhir dari "Revolusi Kita", yakni Revolusi Nasional menuju masyarakat yang adil makmur. Untuk merealisasikan rencana tersebut, dikeluarkanlah TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang "Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama, 1961-1969."

Inti daripada pembangunan nasional menurut Bung Karno bukan hanya terbatas kepada pembangunan fisik, tetapi juga membangun jiwa dan karakter bangsa (Nation & Character Building). Menurut Bung Karno, pengalaman ratusan tahun menjadi bangsa terjajah dan tertindas membuat mental rakyat indonesia menjadi hancur. Rakyat Indonesia masih mengganggap rendah dirinya sendiri, merasa inferior dibanding bangsa-bangsa lain. Ibarat seekor kerbau, sekuat dan sebaik apapun kerbau tersebut, tak peduli seberapa bagus jenisnya, dan sesehat apapun tubuhnya, atau seberapapun terpenuhi kebutuhan hidupnya, ia akan tetap merasa dirinya lebih rendah dibanding manusia, ia tetap merasa alasan dirinya ada di dunia adalah untuk menjadi suruhan manusia.

"Indonesia harus menguasai kesadaran rendah diri dan rasa rendah diri. Ia membutuhkan rasa percaya diri. Itulah yang harus kuberikan kepada rakyatku sebelum aku meninggalkan mereka," ujar Sukarno sebagaimana dikutip Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014, hlm. 354).

Jembatan Semanggi dan SUGBK

Kebijakan ini tentu mendapat kecaman yang luas, khususnya dari kalangan oposisi dan tokoh-tokoh nasional yang "menyingkir/ tersingkirkan" dari tampuk kekuasaan pasca diberlakukannya demokrasi terpimpin. Hal ini boleh dianggap wajar, mengingat kondisi rakyat yang sangat sulit ketika itu. Ditambah lagi, kebijakan ini disetujui oleh MPRS yang seluruh anggotanya dipilih langsung oleh Bung Karno pasca dikeluarkannya dekret 5 Juli yang membubarkan konstituante dan DPR hasil Pemilihan Umum. Kebijakan untuk menyelenggarakan Proyek Mercusuar ini lebih dianggap sebagai sebatas aksi seremonial untuk memenuhi ambisi Presiden Sukarno yang sama sekali tidak sesuai dengan keadaan ekonomi negara yang semakin terpuruk.

Salah satu kritik datang dari mantan wakil presiden Mohammad Hatta, yang telah mengundurkan diri dari kursi wapres akibat silang pendapat dengan Bung Karno pada tahun 1956. 

"Presiden Sukarno yang memimpin pemerintahan diakuinya 'memiliki cita-cita, tetapi [ia] bukan ahli ekonomi, sedangkan orang yang disuruh menjalankan ekonomi tidak mengerti seluk-beluk ekonomi'. [...]. Akibatnya, 'semua menjadi kacau'." demikian tulis Delian Noor mengutip Bung Hatta dalam Mohammad Hatta: Biografi Politik (1990. hlm. 567).

Namun begitu, Bung Karno tetap pada pendiriannya. Terlepas dari derasnya kritik yang datang, Proyek Mercusuar tetap berjalan. Bagi Bung Karno, penderitaan adalah proses menjadi kuat. Suatu proses yang tak terelakkan untuk mencapai cita-cita.

"Menderita akan membuat kuat. Aku tidak menghendaki rakyatku menderita, tetapi kalau semua diperoleh dengan mudah, mereka pikir Bung Karno adalah Sinterklas.[...]. Mungkin kalau aku hanya memiliki kemampuan untuk memberikan kesenangan, aku tidak akan menjadi pemimpin yang baik. Aku harus memberi rakyatku makanan untuk jiwanya bukan hanya untuk perutnya. Seandainya aku memakai semua uang untuk membeli beras, mungkin aku dapat mengatasi kelaparan mereka. Tapi bila aku memiliki uang 5 dollar, aku akan mengeluarkan 2,50 dollar untuk membuat mereka kuat. Membesarkan suatu bangsa merupakan pekerjaan kompleks," ujar Bung Karno, masih dikutip Cindy Adams.

"Manusia tidak hanya hidup untuk makan. Meski gang-gang di Jakarta penuh lumpur dan jalanan masih kurang, aku memutuskan membangun gedung-gedung bertingkat, jembatan berbentuk daun semanggi, dan sebuah jalan raya "superhighway", Jakarta Bypass. Aku juga menamai kembali jalan-jalan dengan nama para pahlawan kami: Jalan Diponegoro, Jalan Thamrin, Jalan Cokroaminoto. Aku menganggap pengeluaran uang untuk simbol-simbol penting seperti itu tidak akan sia-sia. Aku harus membuat bangsa Indonesia bangga terhadap diri mereka. Mereka sudah terlalu lama kehilangan harga diri," sambungnya.

Untuk balasan atas kritik yang menyebut bahwa Proyek Mercusuar adalah sebatas ambisi glorifikasi personalnya, Bung Karno menjawab:

"Ini semua bukanlah untuk keagunganku, tapi agar bangsaku dihargai oleh seluruh dunia.[...]. Ya, memberantas kelaparan memang penting, tapi memberi jiwa mereka yang telah tertindas dengan sesuatu yang dapat membangkitkan kebanggaan -- ini juga penting."

Jembatan AMPERA yang menjadi ikon Kota Palembang merupakan jembatan terpanjang di Asia Tenggara saat itu. Mulanya dinamai "Jembatan Bung Karno", namun diubah menjadi AMPERA oleh pemerintah orde baru.


Referensi: