"Ini semua bukanlah untuk keagunganku, tapi agar seluruh bangsaku dihargai oleh seluruh dunia."
~Sukarno
Situasi politik dan ekonomi indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan dapat dikatakan sebagai masa-masa paling sulit dalam sejarah kita sebagai bangsa yang merdeka. Setelah diproklamasikannya kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, bangsa indonesia masih harus berjuang baik secara militer maupun diplomasi untuk dapat merdeka seutuhnya. Bahkan pasca pemberian pengakuan kedaulatan oleh belanda pada 27 Desember 1949 yang oleh sebagian sejarahwan dianggap sebagai akhir dari masa 'Revolusi Fisik' dalam periodisasi sejarah indonesia modern, perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan belum juga berakhir.
Setelah kembali ke bentuk negara kesatuan pada 17 Agustus 1950, pemerintah dipaksa untuk menghadapi berbagai pemberontakan-pemberontakan yang mengancam keutuhan bangsa. Diawali dengan menyebarnya pemberontakan DI/TII ke berbagai daerah, pemberontakan APRA di Bandung, Andi Azis di Makassar, RMS pimpinan Soumokil, sampai PRRI/PERMESTA. Situasi bertambah runyam dengan persaingan politik internal pemerintah yang masih berusaha beradaptasi dengan sistem demokrasi parlementer ala Barat. Hingga dikeluarkannya dekret presiden 5 Juli 1959 (yang menandai akhir demokrasi perlementer/liberal), tak kurang dari 7 kali pergantian kabinet terjadi dalam kurun waktu 9 tahun.
Di tengah situasi sulit dan masa depan yang tidak menentu itu, Indonesia justru mencalonkan diri-dan terpilih- sebagai tuan rumah Asian Games ke-4 tahun 1962. ya, ASIAN GAMES! pentas olahraga terbesar di Asia. Keputusan tersebut tentu mengernyitkan dahi banyak orang. Bagaimana tidak, di tengah situasi ekonomi yang luar biasa sulit, di saat kelaparan masih mewabah di mana-mana dan kesejahteraan masih sangat jauh untuk digapai, pemerintah justru bersiap untuk menyelenggarakan Mega Event yang begitu megah dan tentunya memakan biaya yang tidak sedikit. Berbagai Gedung, sarana infrastruktur, hingga karya-karya arsitektur simbolis gencar dibangun dengan tujuan untuk menunjukkan kemajuan dan kebanggaan Bangsa Indonesia di mata dunia Internasional. Proyek-proyek pembangunan ambisius tersebut kemudian lebih dikenal dengan sebutan 'Proyek Mercusuar'.
Lantas dari mana sumber dana penyelenggaraan yang didapat oleh pemerintah kala itu?
Hotel Indonesia beserta Monumen Selamat Datang yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta |
Pampasan Perang dan Pinjaman Lunak
Pasca terpilih sebagai Tuan Rumah Asian Games ke-4 melalui voting Dewan federasi Asian Games pada 23 Mei 1958 di Tokyo, pemerintah Indonesia langsung bergerak cepat untuk memulai berbagai mega proyek infrastruktur guna menyukseskan festival olahraga bangsa-bangsa asia tersebut. Pada 27 Maret 1958, pemerintah bersama DPR mengesahkan UU No. 13 Tahun 1958 yang berisi hasil kesepakatan RI-Jepang atas biaya pampasan perang yang akan dibayarkan kepada Republik Indonesia sebesar 223,390 juta dollar AS dengan dibayarkan secara berangsur-angsur dalam kurun waktu 12 tahun. Siraman dana segar yang melimpah ruah tersebut segera dialokasikan untuk pembangunan berbagai megaproyek infrastruktur, di antaranya:
- Hotel Indonesia (diresmikan pada 5 Agustus 1962)
- Stasiun Televisi TVRI (mengudara pertama kali saat pembukaan Asian Games pada 24 Agustus 1962)
- Jembatan Semanggi
- Monumen Selamat Datang/ Tugu Bundara HI (selesai dibangun pada tahun 1962)
Untuk venue utama, Uni Soviet yang ketika itu sedang beradu pengaruh dengan Amerika Serikat untuk memikat hati negara-negara Asia dalam perang dingin, bersedia memberikan pinjaman lunak senilai US$12,5 Juta Dollar untuk pembangunan Stadion Utama yang kini dikenal sebagai Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK). Pada saat pendiriannya, SUGBK memiliki kapasitas 110 ribu orang yang menjadikannya sebagai salah satu stadion terbesar di dunia, sekaligus stadion beratap temu gelang/ melingkar pertama di dunia! (Saat itu stadion-stadion besar dunia masih jarang yang tribunnya tertutup atap. Beberapa hanya sebagian tribun yang ditutupi atap, contohnya seperti Stadion Camp Nou yang jadi markas FC Barcelona saat ini).
Presiden Sukarno bersama Nikita Khrushchev (Pemimpin Tertinggi Uni Soviet) meninjau pembangunan kompleks olahraga SUGBK dalam kunjungan Khrushchev ke Indonesia, Februari 1960. |
Amin Rahayu, sejarawan Universitas Indonesia, dalam tesisnya yang berjudul 'Asian Games IV di Jakarta: Motivasi dan Capaiannya' menjelaskan bagaimana pemerintah mati-matian mengerahkan segenap upaya agar seluruh megaproyek pembangunan tersebut berhasil diselesaikan tepat waktu.
"Pada saat puncak penyelesaiannya, lebih dari 40 sarjana tehnik dari Indonesia, siang-malam harus turun tangan untuk memimpin sekitar 12.000 tenaga kerja sipil dan militer, yang datang secara bergiliran dalam tiga shift. Selama melaksanakan tugasnya, para teknisi indonesia tersebut didampingi oleh tenaga ahli bantuan teknis dari Uni Soviet. Walaupun sebagian tenaga asing yang berpendidikan sarjana berasal dari Uni Soviet, akan tetapi ada juga tenaga ahli yang datang dari Hongaria, Swiss, Jepang, Perancis dan Jerman," tulis Amin (hlm.89).
Sejarah kemudian mencatat bahwa seluruh proyek tersebut berhasil diselesaikan tepat pada waktunya. Pada 24 Agustus 1962, Presiden Sukarno secara resmi membuka Asian Games ke-4 Tahun 1962 lewat sebuah pidato yang dibacakan langsung di Tribun Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Pidato yang disaksikan oleh lebih dari 100 ribu orang -termasuk 1.460 atlet yang berasal dari seluruh negara peserta- tersebut sekaligus menjadi siaran langsung pertama stasiun televisi milik indonesia, TVRI.
Kesuksesan penyelenggaraan Asian Games ke-4 rupanya setali tiga uang dengan prestasi kontingen indonesia yang berlaga di dalamnya. Di akhir turnamen, kontingen indonesia berhasil menempati urutan kedua peraih medali terbanyak setelah Jepang. Itu masih menjadi capaian terbaik Indonesia dalam Asian Games hingga saat ini.
Meskipun pada awalnya difokuskan untuk persiapan penyelenggaraan Asian Games, pemerintah rupanya tetap melanjutkan pembangunan Proyek Mercusuar dengan sisa dana pampasan perang yang masih terus diangsur oleh pemerintah Jepang. Beberapa proyek tersebut di antaranya:
- Samudera Beach Hotel, Pelabuhanratu, Sukabumi (dibangun tahun 1962)
- Sanur Beach Hotel, Bali (dibangun tahun 1963)
- Pusat Perbelanjaan Sarinah, Jakarta (Pusat perbelanjaan pertama di Indonesia)
- Jembatan AMPERA, Palembang (diresmikan tahun 1965)
- Gedung Pencakar langit Wisma Nusantara, Jakarta (mulai dibangun tahun 1964)
Gedung Wisma Nusantara yang memiliki total 30 lantai dengan tinggi bangunan 110 meter merupakan gedung pencakar langit pertama di Asia Tenggara. (Foto: Kompas.com) |
Alasan dan Motivasi
Masih menurut Amin Rahayu, Presiden Sukarno berkali-kali menyebut bahwa tahun 1959 -tahun dimualinya era Demokrasi Terpimpin- sebagai Tahun "Penemuan Kembali Revolusi Kita" (Rediscovery of Our Revolution). Sedangkan Tahun 1960 adalah awal dari tingkatan Masa pembangunan besar-besaran dalam mencapai tujuan akhir dari "Revolusi Kita", yakni Revolusi Nasional menuju masyarakat yang adil makmur. Untuk merealisasikan rencana tersebut, dikeluarkanlah TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang "Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama, 1961-1969."
Inti daripada pembangunan nasional menurut Bung Karno bukan hanya terbatas kepada pembangunan fisik, tetapi juga membangun jiwa dan karakter bangsa (Nation & Character Building). Menurut Bung Karno, pengalaman ratusan tahun menjadi bangsa terjajah dan tertindas membuat mental rakyat indonesia menjadi hancur. Rakyat Indonesia masih mengganggap rendah dirinya sendiri, merasa inferior dibanding bangsa-bangsa lain. Ibarat seekor kerbau, sekuat dan sebaik apapun kerbau tersebut, tak peduli seberapa bagus jenisnya, dan sesehat apapun tubuhnya, atau seberapapun terpenuhi kebutuhan hidupnya, ia akan tetap merasa dirinya lebih rendah dibanding manusia, ia tetap merasa alasan dirinya ada di dunia adalah untuk menjadi suruhan manusia.
"Indonesia harus menguasai kesadaran rendah diri dan rasa rendah diri. Ia membutuhkan rasa percaya diri. Itulah yang harus kuberikan kepada rakyatku sebelum aku meninggalkan mereka," ujar Sukarno sebagaimana dikutip Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014, hlm. 354).
Jembatan Semanggi dan SUGBK |
Kebijakan ini tentu mendapat kecaman yang luas, khususnya dari kalangan oposisi dan tokoh-tokoh nasional yang "menyingkir/ tersingkirkan" dari tampuk kekuasaan pasca diberlakukannya demokrasi terpimpin. Hal ini boleh dianggap wajar, mengingat kondisi rakyat yang sangat sulit ketika itu. Ditambah lagi, kebijakan ini disetujui oleh MPRS yang seluruh anggotanya dipilih langsung oleh Bung Karno pasca dikeluarkannya dekret 5 Juli yang membubarkan konstituante dan DPR hasil Pemilihan Umum. Kebijakan untuk menyelenggarakan Proyek Mercusuar ini lebih dianggap sebagai sebatas aksi seremonial untuk memenuhi ambisi Presiden Sukarno yang sama sekali tidak sesuai dengan keadaan ekonomi negara yang semakin terpuruk.
Salah satu kritik datang dari mantan wakil presiden Mohammad Hatta, yang telah mengundurkan diri dari kursi wapres akibat silang pendapat dengan Bung Karno pada tahun 1956.
"Presiden Sukarno yang memimpin pemerintahan diakuinya 'memiliki cita-cita, tetapi [ia] bukan ahli ekonomi, sedangkan orang yang disuruh menjalankan ekonomi tidak mengerti seluk-beluk ekonomi'. [...]. Akibatnya, 'semua menjadi kacau'." demikian tulis Delian Noor mengutip Bung Hatta dalam Mohammad Hatta: Biografi Politik (1990. hlm. 567).
Namun begitu, Bung Karno tetap pada pendiriannya. Terlepas dari derasnya kritik yang datang, Proyek Mercusuar tetap berjalan. Bagi Bung Karno, penderitaan adalah proses menjadi kuat. Suatu proses yang tak terelakkan untuk mencapai cita-cita.
"Menderita akan membuat kuat. Aku tidak menghendaki rakyatku menderita, tetapi kalau semua diperoleh dengan mudah, mereka pikir Bung Karno adalah Sinterklas.[...]. Mungkin kalau aku hanya memiliki kemampuan untuk memberikan kesenangan, aku tidak akan menjadi pemimpin yang baik. Aku harus memberi rakyatku makanan untuk jiwanya bukan hanya untuk perutnya. Seandainya aku memakai semua uang untuk membeli beras, mungkin aku dapat mengatasi kelaparan mereka. Tapi bila aku memiliki uang 5 dollar, aku akan mengeluarkan 2,50 dollar untuk membuat mereka kuat. Membesarkan suatu bangsa merupakan pekerjaan kompleks," ujar Bung Karno, masih dikutip Cindy Adams.
"Manusia tidak hanya hidup untuk makan. Meski gang-gang di Jakarta penuh lumpur dan jalanan masih kurang, aku memutuskan membangun gedung-gedung bertingkat, jembatan berbentuk daun semanggi, dan sebuah jalan raya "superhighway", Jakarta Bypass. Aku juga menamai kembali jalan-jalan dengan nama para pahlawan kami: Jalan Diponegoro, Jalan Thamrin, Jalan Cokroaminoto. Aku menganggap pengeluaran uang untuk simbol-simbol penting seperti itu tidak akan sia-sia. Aku harus membuat bangsa Indonesia bangga terhadap diri mereka. Mereka sudah terlalu lama kehilangan harga diri," sambungnya.
Untuk balasan atas kritik yang menyebut bahwa Proyek Mercusuar adalah sebatas ambisi glorifikasi personalnya, Bung Karno menjawab:
"Ini semua bukanlah untuk keagunganku, tapi agar bangsaku dihargai oleh seluruh dunia.[...]. Ya, memberantas kelaparan memang penting, tapi memberi jiwa mereka yang telah tertindas dengan sesuatu yang dapat membangkitkan kebanggaan -- ini juga penting."
Jembatan AMPERA yang menjadi ikon Kota Palembang merupakan jembatan terpanjang di Asia Tenggara saat itu. Mulanya dinamai "Jembatan Bung Karno", namun diubah menjadi AMPERA oleh pemerintah orde baru. |
Referensi:
- Adams,Cindy.2014.Bung Karno:Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.Jakarta:Yayasan Bung Karno(edisi revisi)
- Rahayu,Amin.2018.Asian Games IV 1962 di Jakarta:Motivasi dan Capaiannya.Jakarta:Direktorat Sejarah,Direktorat Jenderal Kebudayaan,Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
- Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 Tahun 1960 - Pusat Data Hukumonline.com - Pusat Data Hukumonline.com
- Microsoft Word - UU0131958 (dpr.go.id)
- Proyek Mercusuar RI Dibiayai Dana Pampasan Perang Jepang (detik.com)
- Asian Games 1962 dan Politik Mercusuar Bung Karno - Tirto.ID
Follow Us
Were this world an endless plain, and by sailing eastward we could for ever reach new distances