Pada 24 Februari 2022, masyarakat dunia dikejutkan dengan pemberitaan di berbagai media yang mengabarkan bahwa Rusia secara resmi memulai ...

Pada 24 Februari 2022, masyarakat dunia dikejutkan dengan pemberitaan di berbagai media yang mengabarkan bahwa Rusia secara resmi memulai 'operasi militer khusus' untuk masuk ke wilayah negara tetangganya, Ukraina. Pengumuman resmi dimulainya aksi rusia tersebut disampaikan langsung oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin, dari Moscow. Pengumuman tersebut langsung diikuti oleh penetrasi ribuan pasukan dan kendaraan militer rusia yang memang tengah bersiaga di sepanjang perbatasan Rusia-Ukraina ke dalam wilayah negara Ukraina. Akibatnya, konflik bersenjata pun pecah antara dua negara yang bertetangga tersebut. Hingga tulisan ini dibuat, belum ada tanda-tanda konflik akan mereda. Hujan sanksi yang diberikan Amerika Sertikat, negara barat, dan sekutu-sekutunya tampak belum juga berhasil membuat Rusia menghentikan serangannya.

Tentunya menarik untuk membahas latar belakang, alasan, dan motif dari pecahnya konflik bersenjata antar kedua negara. Pembahasan dan opini penulis mengenai hal tersebut akan terangkum dalam artikel tersendiri yang akan penulis bagikan dalam artikel selanjutnya. Dalam artikel ini, penulis akan membahas mengenai dinamika hubungan antara Rusia dan Ukraina dari perspektif sejarah. Dari mana asal-usul kedua negara tersebut? Apakah benar bahwa kedua negara tersebut sejatinya bersaudara? Bagaimana posisi kedua negara dalam menghadapi dinamika sejarah mulai dari dua perang dunia, lahir dan runtuhnya Uni Soviet, dan pasang-surut hubungan Eropa-Rusia?

FOTO

Kelahiran Dua Bangsa

Sebagaimana bangsa-bangsa lainnya di dunia, sejarah bangsa Ukraina dan Rusia terbentang panjang hingga ribuan tahun lamanya, dan sebagaimana banyak bangsa lainnya, terdapat banyak sumber yang menjelaskan mengenai asal-usul kedua bangsa. Perbedaan tersebut kebanyakan mengenai tanggal/waktu persis terjadinya suatu peristiwa ataupun detail dari peristiwa tersebut. Dalam artikel kali ini, penulis akan mencoba merangkum secara singkat sejarah kedua bangsa dari sumber-sumber populer.

Penduduk asli Rusia dan Ukraina pada mulanya adalah orang-orang Slavia Timur, yakni percabangan etnis dari bangsa Slavia yang merupakan etnis terbesar di kawasan eropa timur hingga benua asia bagian utara dan tengah. Secara etnis/kesukuan, bangsa slavia dikelompokkan ke dalam sub-etnis Slavia Timur (Orang-orang Rusia, Ukraina, dan Belarusia) dan Slavia Barat (di antaranya Polandia, Ceko, Slovakia) dan Slavia Selatan (Mayoritas Serbia, Bosnia, Slovenia, Montenegro, Bulgaria, Hungaria).

Secara politik, penduduk rusia dan ukraina di masa lampau pertama kali disatukan pasca kedatangan bangsa Viking yang disebut oleh penduduk setempat sebagai Varangian. Salah satu pemimpin bangsa Varangian, Rurik, pada mulanya membangun kekuasaan di wilayah Novgorod (saat ini wilayah Rusia) yang menandai awal dari Rurik Dinasty. Putra Rurik, Oleg, bersama dengan pasukannya dari Novgorod berhasil memperluas kekuasaannya dengan menyebrangi sungai Dnieper dan menguasai Kiev (ibukota Ukraina saat ini) pada tahun 882 M. Setelah itu, Oleg memindahkan pusat kekuasaannya dari Novgorod ke Kiev sehingga dikenal dengan sebagai Oleg the Grand Prince of Kiev. Selama berabad-abad orang-orang Rusia dan Ukraina hidup sebagai satu bangsa di bawah kepangeranan Rus Kiev (Kievan Rus) sampai keruntuhannya oleh invasi Mongol pada abad ke-13.

Perpecahan dan Bersatu Kembali

Pasca invasi bangsa Mongol tersebut, wilayah Kievan Rus terpecah menjadi beberapa kerajaan-kerajaan kecil. Salah satu keturunan Dinasti Rurik kemudian membangun kekuasaan di Moscow dan mendirikan kepangeranan Moscow (The Grand Principality of Muscovy) yang dikemudian hari berkembang menjadi Kekaisaran Rusia (The Russian Empire). Setelah masa-masa instabilitas regional dan perang saudara antar wilayah bekas kekuasaan Kievan Rus, wilayah Ukraina yang saat itu berada di bawah kekuasaan bangsa Kazak (Cossack) sepakat menandatangani Perjanjian Pereyaslav (1654 M). Sebagai tindak lanjut dari perjanjian tersebut, seluruh wilayah Ukraina secara resmi menjadi bagian dari Kekaisaran Rusia. Untuk yang kedua kalinya, bangsa Russia dan Ukraina kembali bersatu di bawah pemerintahan yang sama. Uniknya, bila sebelumnya pusat pemerintahan terletak di wilayah Ukraina (di Kiev, saat masa Kievan Rus), kali ini pusat pemerintahan justru berada di wilayah Rusia (di Moscow, kemudian dipindahkan ke St. Petersburg pada tahun 1712 M). Bersatunya Rusia dan Ukraina untuk kedua kalinya tersebut berlangsung hingga tergulingnya Tsar Nicholas II dari Dinasti Romanov yang menandai runtuhnya Kekaisaran Rusia pada tahun 1917.

Perpecahan dan Bersatu Kembali (2)

Pada Februari 1917, di tengah amukan Perang Dunia I, Tsar Nicholas II berhasil ditumbangkan oleh revolusi kaum Manshevik pimpinan Alexander Kerensky. Setelah melalui masa-masa transisi kekuasaan pasca revolusi, Kerensky kemudian diangkat sebagai kepala pemerintahan sementara di bekas wilayah Kekaisaran Rusia. Pemerintahannya yang cenderung sosialis-moderat dan berkeyakinan untuk menggunakan cara-cara non-kekerasan mendapat tentangan dari kaum Bolshevik yang menganggap pemerintahan Manshevik tidak cukup kuat dan revolusioner. Pada tanggal 25 Oktober 1917 kaum Bolshevik pimpinan Vladimir Lenin dan Leon Trotsky melancarkan pemberontakan di Ibukota St. Petersburg dan berhasil menduduki Istana Musim Dingin dan menggulingkan pemerintahan sementara pimpinan Kerensky. Peristiwa tersebut dikenal dengan sebutan "Revolusi Bolshevik" atau "Revolusi Musim Dingin".

Pasca meletusnya Revolusi Musim Dingin di St. Petersburg, Ukraina mendeklarasikan diri sebagai Negara Merdeka dengan nama Republik Rakyat Ukraina (Ukrainian People's Republic) atau Republik Nasional Ukraina pada 22 Januari 1918. Berkaca kepada keberhasilan kaum Bolshevik Rusia, kaum Bolshevik Ukraina pun berusaha untuk mengambil alih kendali pemerintahan di Ukraina guna membentuk negara komunis. Hal tersebut memicu terjadinya Perang Saudara Ukraina yang diakhiri dengan kemenangan kaum Bolshevik Ukraina dan didirikannya Republik Sosialis Soviet Ukraina yang berideologi komunisme. Pada 29 Desember 1922, Republik Sosialis Soviet Ukraina bersama dengan RSS Byelorusia (Belarusia), RSFS Transkaukasia (saat ini menjadi Armenia, Azerbaijan, dan Georgia), serta RSFS pimpinan Lenin menyetujui Deklarasi Pendirian Uni Soviet. Pada tanggal 30 Desember 1922,  Republik Sosialis Uni Soviet (Union of Soviet Socialist Republiccs/USSR) resmi berdiri sekaligus menandai untuk ketiga kalinya Rusia-Ukraina bersatu di bawah negara/pemerintahan pusat yang sama. 

Pada 1932-1933 beberapa pemberontakan pecah di beberapa wilayah Ukraina akibat bencana kelaparan masal yang dikenal sebagai "Holodomor" sebagai akibat dari kebijakan Collective Agriculture hasil gagasan Stalin yang mengakibatkan penurunan produktivitas hasil pertanian di seluruh wilayah Uni Soviet, termasuk Ukraina. Pemberontakan tersebut berhasil di atasi dengan tangan besi oleh Stalin dan Ukraina tetap menjadi bagian dari Uni Soviet hingga bubarnya USSR pada 26 Desember 1991.


Runtuhnya Uni Soviet dan Menjadi Negara Merdeka

Setelah masa stagnansi soviet (Era of Stagnation) akibat perang dingin dengan AS yang tak kunjung usai serta kegagalan kebijakan Perestroika dan Glasnost yang digagas pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev, USSR mulai kehilangan integrasi nasionalnya. Pada 24 Agustus 1991, Ukraina menyatakan kemerdekaannya dari Uni Soviet. Pada 12 Desember 1991, Rusia menyatakan hal serupa. Pada 8 Desember 1991, para pemimpin Rusia, Ukraina, dan Belarus menandatangani The Belovezh Accords yang menyatakan Uni Soviet tidak lagi ada dan ketiga negara sepakat untuk mengakui kedaulatan masing-masing. Satu persatu negara bagian Uni Soviet mendeklarasikan kemerdekaannya hingga USSR secara resmi dibubarkan pada 26 Desember 1991. Dengan runtuhnya Uni Soviet, negara-negrara bagian yang sebelumnya adalah bagian dari USSR menjadi negara merdeka seutuhnya. 

Pada tanggal 21 Desember 1991 disepakati "The Alma-Ata Protocol" yang menyatakan pembentukan suatu wadah kerjasama antarnegara bagian Uni Soviet yang diberi nama Commonwealth of Independent States (CIS) atau Persemakmuran Negara-negara Merdeka. CIS dimaksudkan untuk menjadi wadah kerjasama di bidang ekonomi, politik, keamanan, hubungan luar negeri, dan keuangan guna memelihara hubungan dan koordinasi antarnegara bekas bagian Soviet. Baik Russia maupun Ukraina merupakan negara pendiri CIS, namun demikian setelah statuta CIS secara resmi ditandatangani pada 23 Januari 1993, Ukraina tidak termasuk dalam pihak penandatangan dan tidak pernah meratifikasi statuta CIS sehingga tidak pernah secara resmi menjadi anggotanya. Akan tetapi, Ukraina tetap aktif dalam beberapa program-program CIS (misalnya sebagai anggota CIS Economic Union pada April 1994).  

10 Tahun Pertama pascakemerdekaan

Pada masa-masa awal pasca keruntuhan Uni Soviet, baik Rusia maupun Ukraina sama-sama mencoba untuk menata kembali negaranya. Sampai dengan tahun 1999, Russia dipimpin oleh Boris Yeltsin, bekas kepala pemerintahan negara bagian Russia semasa masih tergabung dalam USSR yang sekaligus juga merupakan Presiden pertama Russia pasca bubarnya soviet. Sementara itu, situasi politik dalam negeri Ukraina sedikit lebih dinamis dan fluktuatif. Pada 1994, Leonid Kravchuk (President pertama Ukraina pasca pembubaran Soviet) menyatakan mundur dari jabatannya setelah serangkaian tuduhan korupsi, maladministrasi, dan krisis ekonomi yang melanda Ukraina di bawah pemerintahannya. Ia kemudian digantikan oleh Leonid Kuchma, seorang politisi senior soviet yang memiliki basis dukungan besar di wiayah perindustrian yang didominasi etnis Russia di Ukraina bagian Timur. Berbeda dari pendahulunya yang berusaha menjaga Ukraina untuk tetap netral dalam hubungan luar negerinya (tidak berpihak kepada NATO/barat maupun Russia), Kuchma dipandang sebagai seorang yang lebih 'Pro-Russia', terlebih pada masa-masa akhir kekuasaannya ia mengeluarkan berbagai kebijakan yang cenderung otoriter seperti penangkapan dan pembunuhan jurnalis hingga pembungkaman oposisi. Meskipun demikian, Kuchma berhasil memenangkan Pemilu keduanya di tahun 1999 dan tetap menjadi Presiden hingga tahun 2005.

Salah satu faktor yang mendukung merekatnya hubungan antara Russia-Ukraina di masa Kuchma adalah pergantian kepemimpinan Russia dari Boris Yeltsin yang mengundurkan diri kepada Vladimir Putin pada 7 Mei 2000. Putin yang merupakan mantan anggota pasukan elit soviet (KGB) dipandang sebagai sosok yang tepat untuk mewujudkan stabilitas politik dan membangkitkan perekonomian Russia yang carut-marut dibawah kepemimpinan Yeltsin. Terlebih, Putin juga dianggap sukses selama menjabat sebagai Direktur Keaman Federal Nasional (1998-1999), Kepala Dewan Keamanan Nasional (1999), dan Perdana Menteri Russia (1999-2000). Vladimir Putin kemudian terus-menerus duduk di puncak hierarki kekuasaan Russia hingga saat ini dengan menjadi Presiden (2000-2008), Perdana Menteri (2008-2012), dan kembali menjabat sebagai Presiden setelah perubahan konstitusi yang mengizinkannya untuk terus menjabat sepanjang berhasil memenangkan pemilu (2012- sekarang).

Di bawah kekuasaan Putin, Russia kembali aktif mengukuhkan posisinya sebagai 'Penerus hegemoni soviet' di kancah politik internasional. Ia berusaha untuk membangun pengaruh russia di Eropa Timur, khususnya di berbagai negara bekas anggota soviet guna menahan 'agresi pengaruh NATO' yang semakin menguat. Hal tersebut tentunya sejalan dengan fokus Putin untuk mewujudkan stabilitas nasional. Hal itu pula yang mendasari kedekatan hubungan Russia-Ukraina di era kepresidenan Leonid Kuchma (serta dinamika hubungan kedua negara pada masa kepemimpinan presiden-presiden Ukraina selanjutnya).


Panas-Dingin Karena NATO

Memasuki dekade kedua pasca runtuhnya soviet yang juga ditandai dengan masuknya umat manusia ke dalam milenium baru, situasi politik Russia relatif telah stabil. Kepemimpinan Putin --terlepas dari berbagai pandangan yang menyebutnya otoriter-- terbukti berhasil mewujudkan kondisi politik-ekonomi dalam negeri yang stabil dan memberi negaranya kesempatan bagi negaranya untuk membangun reputasi sebagai negara yang patut 'diperhitungkan' di kancah internasional. Russia perlahan berhasil mengukuhkan dirinya sebagai "penerus soviet yang patut dihormati", bukan sekedar "negara pecahan soviet yang kesulitan untuk mengatur dirinya sendiri".

Sementara itu, Ukraina terus didera turbulensi politik yang tak berkesudahan. Pada pemilihan umum tahun 2004, Viktor Yanukovich, Perdana menteri incumbent yang didukung oleh Presiden Petahana (Kuchm) berhasil meraih kemenangan atas tokoh oposisi Viktor Yushenko. Hasil Pemilu tersebut dinilai oleh pengamat internasional penu kecurangan sehingga melahirkan demonstrasi rakyat besar-besaran yang dikenal sebagai 'Revolusi Oranye' (The Orange Revolution). Mahkamah Agung Ukraina (Supreme Court) kemudian menyatakan Pemilu 2004 penuh dengan kecurangan dan memerintahkan pemungutan suara ulang yang kemudian dimenangkan oleh Yushenko. Viktor Yushenko kemudian menjabat sebagai Presiden ke-3 Ukraina sejak tanggal 23 Januari 2005 hingga 25 Februari 2010.

Di bawah kepemimpinan Yushenko, Ukraina mulai mengalihkan dukungannya kepada barat (NATO & Uni Eropa). Di era kepemimpinan Yushenko, mulai muncul berbagai gagasan dan usulan untuk memasukkan Ukraina ke dalam keanggotaan NATO. Bahkan dalam kunjungan pertama Yushenko ke AS pada April 2005, Presiden George W. Bush secara terbuka menyatakan bahwa dirinya merupakan pendukung utama rencana Ukraina bergabung ke dalam NATO melalui mekanisme Membership Action Plan (MAP). Pada Januari 2008, Senator AS Richard Lugar menyatakan bahwa Presiden Yuschenko, Perdana Menteri Yulia Tymoshenko, dan Kepala Parlemen Ukraina Arsenii Yatseniuk telah menandatangani pernyataan keinginan Ukraina untuk bergabung dengan NATO dalam NATO Summit yang akan diselenggarakan di Bucharest pada bulan April 2008. Hal tersebut tentu membuat Russia geram. Pada 12 Februari 2008 Presiden Putin secara terbuka mengancam untuk menargetkan roket russia ke Ibukota Kiev jikalau Ukraina sampai bergabung dengan NATO. Sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Russia, Putin bersikeras Ukraina harus berada dalam posisi netral demi menjaga keamanan nasional Russia dari ancaman langsung NATO. Pada NATO Summit di bulan April tersebut, NATO akhirnya memutuskan belum akan menerima Ukraina sebagai anggota, namun menyatakan dukungan bagi Ukraina untuk dapat bergabung di kemudian hari. 

Keinginan Ukraina untuk bergabung dengan NATO ini lah yang kemudian menjadi bara api konflik dalam hubungan kedua negara hingga saat ini. Ukraina tegas menganggap keputusan bergabung dengan NATO dan Uni Eropa atau tidak sebagai kedaulatan pengambilan keputusan negaranya yang tidak dapat diintervensi, sedangkan Russia terus bersikeras bahwa hal tersebut merupakan ancaman bagi kedaulatan dan keamanan nasionalnya sehingga terus berupaya menggagalkannya. Ketika Viktor Yanukovich yang pro-russia memenangkan Pemilu Ukraina dan menggantikan presiden Yushenko pada tahun 2010, hubungan Russia-Ukraina yang sempat merenggang kembali membaik. Dalam masa kepemimpinannya, Yanukovich merombak berbagai kebijakan luar negeri pendahulunya dan berusaha menempatkan kembali Ukraina ke posisi netral (sebagian pandangan mengatakan menjadi pro-russia). Yanukovich juga menegaskan bahwa pemerintahannya menganggap hubungan Ukraina NATO "Sudah cukup efisien" sehingga tidak perlu ada pembahasan untuk menggabungkan Ukraina ke dalam keanggotaan NATO.

Bulan madu Russia-Ukraina di bawah Yanukovich rupanya tak bertahan lama. Pada penghujung tahun 2013 ( kurang lebih 4 tahun setelah diangkat menjadi presiden), terjadi demonstrasi besar-besaran berisi penolakan atas keputusan pemerintahan Yanukovich untuk menolak menandatangani perjanjian kerjasama politik dan pertahanan dengan NATO dan justru berusaha mendekatkan diri dengan Russia. Demonstrasi yang berlangsung di Independent Square, Kiev tersebut dikenal sebagai Euromaidan uprising. Demonstrasi tersebut kemudian semakin meluas dan mencapai puncaknya pada 18-23 Februari 2014 yang dikenal sebagai "Maidan Revolution" atau "The Revolution of Dignity". Tidak seperti Revolusi Oranye yang tidak memakan korban jiwa, Revolusi Maidan diwarnai berbagai kekerasan dan korban jiwa. Presiden Yanukovich yang terdesak kemudian meminta bantuan kepada Russia. Akan tetapi, pada akhirnya ia berhasil digulingkan dan kemudian melarikan diri ke Russia.

Di tengah kemelut politik tersebut, Russia mengambil langkah mengejutkan untuk mengirimkan pasukan guna menganeksasi wilayah semenanjung Crimea yang dihuni mayoritas etnis russia dan berhasil dengan cepat menduduki wilayah tersebut pada tanggal 18 Maret 2014 di tengah berbagai kecaman dan penolakan pengakuan internasional. Russia juga menolak untuk mengakui pemerintahan sementara pimpinan Arsenii Yatseniuk yang memutuskan untuk menandatangani perjanjian dengan NATO. Sementara itu, kelompok rakyat di Luhansk dan Donetsk mendeklarasikan diri sebagai negara merdeka. Hal tersebut kemudian memicu pecahnya Perang Donbas yang masih berlangsung hingga saat ini.   

Pada 7 Juni 2014, Petro Poroshenko, seorang pengusaha dan politisi Pro-Barat terpilih sebagai Presiden ke-5 Ukraina. Ia kemudian mengangkat bekas presiden interim Yatseniuk sebagai Perdana Menteri. Masa kepemimpinan Poroshenko ditandai dengan semakin memanasnya ketegangan antara Russia dan Ukraina khususnya pasca aneksasi Crimea yang dianggap oleh pemerintah Ukraina sebagai "pelanggaran kedaulatan dan pencaplokan atas wilayah negaranya". Poroshenko juga gencar mengupayakan peningkatan kerja sama Ukraina dengan NATO. Pada 7 Februari 2019, parlemen Ukraina mengesahkan amandemen konstitusi yang pada pokoknya menempatkan penggabungan Ukraina dengan NATO dan Uni Eropa sebagai dasar utama kebijakan luar negeri negara tersebut. 

Meskipun pemerintahannya relatif berhasil meningkatkan hubungan Ukraina dengan NATO dan sekutu barat untuk membantu menghadapi Ukraina, Poroshenko kehilangan kepercayaan rakyat karena berbagai dugaan korupsi dan pemborosan. Ia kemudian digantikan oleh Volodimyr Zelensky yang dilantik sebagai Presiden ke-6 Ukraina pada tanggal 20 Mei 2019. Zelensky yang berlatar belakang seniman komedi layar kaca kemudian meneruskan langkah pendahulunya untuk mengupayakan penggabungan Ukraina dengan NATO dan Uni Eropa. Hal tersebut ia jadikan sebagai amunisi utama untuk menahan intervensi Russia atas kedaulatan negaranya di Crimea dan Donbass.

Kegigihan ambisi Ukraina (di bawah kepresidenan Zelensky) untuk bergabung dengan NATO tentu menjadi ancaman serius bagi Russia, karena selain jadi mengancam keamanan nasional Russia mengingat faktor letak geografis Ukraina yang berbatasan langsung dengannya, bergabungnya Ukraina dengan NATO juga akan dapat memberi opsi bagi negara-negara anggota NATO untuk mengaktifkan prinsip Collective Defence sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 NATO. Prinsip tersebut menegaskan bahwa serangan terhadap salah satu negara anggota adalah serangan terhadap seluruh negara anggota dan oleh karenanya bila ada salah satu anggota NATO yang terlibat dalam peperangan dengan negara lain, maka seluruh anggota NATO berkewajiban untuk turut serta membantu negara anggota NATO tersebut. Dalam konteks tersebut, pemerintah Ukraina hingga saat ini tidak mengakui langkah Russia menganeksasi Crimea pada tahun 2014 dan masih menganggap wilayah tersebut adalah wilayah negaranya yang diduduki secara ilegal oleh Russia. Dengan bergabung bersama NATO, Ukraina dapat memiliki dasar legitimasi untuk meminta bantuan seluruh negara anggota NATO (AS, Inggris, Perancis, dan lain-lain) untuk membantunya dalam perang melawan Russia. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran yang sangat besar bagi Russia dan berpotensi membuat Russia berhadapan langsung dengan negara-negara tersebut. Hal tersebut ditambah lagi dengn konflik yang masih bergejolak hingga saat ini antara pasukan pemerintah Ukraina dengan milisi pro-lemerdekaan yang didukung Russia di wilayah Donbass (Donetsk dan Luhansk). Hal-hal tersebutlah yang kemudian menjadi salah satu dasar pengerahan pasukan besar-besaran Russia ke Ukraina pad 24 Februari yang lalu. Pengerahan tersebut didahului pernyataan Putin bahwa Perjanjian Minsk I (2014) dan Perjanjian Minsk II (2015) tentang gencatan senjata antara Russia-Ukraina tidak berlaku agi. Russia melalui Presiden Putin juga menyatakan mengakui kedaulatan negara Republik Luhansk & Donetsk yang dianggap pemerintah Ukraina sebagai kelompok separatis. Dengan dijalankannya 'Operasi Militer Khusus' tersebut, Russia berharap dapat menetralisir kekuatan angkatan bersenjata Ukraina serta memberikan peringatan kepada pemerintah Ukraina agar mengurungkan niatnya untuk terus mengupayakan penggabungan Ukraina dengan NATO dan Uni Eropa.  

Bagaikan air dan minyak dalam segelas lilin, hubungan antara dua negara yang bersaudara tersebut tak pernah bisa menyatu. Dalam tulisan selanjutnya, penulis akan membahas lebih lanjut seputar konflik bersenjata antar kedua negara yang tengah berlangsung saat ini dilengkapi dengan opini penulis akan arah peperangan dan kemungkinan penyelesaian konflik. Nantikan terus postingan terbaru penulis di www.sangpemikiramatir.blogspot.com!


Referensi